Awal kisah pada hari
itu (ahad, 13/08/17) saya menghadiri sebuah kegiatan bersama ke-tiga teman saya
(Reski, Baso, dan Fahmi) menggunakan transportasi umum berbasis online (Grab),
maklum lah kami ini satu rumah/pondokan dan sama-sama tak punya kendaraan
(boro-boro motor, sepeda saja tidak ada apalagi helycopter). Kegiatan yang saya
maksud disini adalah Tarbiyah Gabungan yang diadakan oleh DPP WI Makassar yang
dirangkaikan dengan soisalisasi Daurah SKS di Masjid Wihdatul Ummah yang berada
di jalan Abdullah Daeng Sirua, Makassar. Kegiatan ini dimulai dari pukul 09.30
sampai masuk waktu shalat dzuhur.
Setelah kegiatan ini
berakhir usai shalat dzuhur, seperti biasa kami ingin beranjak kembali untuk
pulang, namun kali ini kami pulang bertiga karena salah satu teman kami pulang
lebih awal (read : Fahmi). Namun sebelum itu karena kami kelaparan karena sejak
pagi hingga dzuhur belum sempat menyentuh makanan, meskipun di kegiatan Targab
sebelumnya ada breakfast berupa kurma sebanyak lima butir yang dikemas dalam
sebuah plastik vakum dan satu gelas air mineral (read : Wahdah Water). Biasalah
orang Indonesia nanti dikatakan makan yang sesungguhnya jika makanan yang dikonsumsi itu berupa nasi dan
pasukannya (read:Lauk), padahal kan kurma juga makanan. Makanan inilah yang
setiap hari mengisi perut Rasulullah SAW di zaman dulu.
Awalnya kami bertiga mencari
makan, tiba-tida ada salah seorang senior kami dari Lembaga Dakwah Kampus yang
juga sebelumnya menghadiri Targab ikut kelaparan. Akhirnya kami ber-empat pergi
mencari warung makan, namanya mahasiswa pasti selalu mencari warung makan yang
makanannya enak tapi harganya murah. Kami terus mencari warung makan, ada
beberapa warung makan yang kami temui di jalan namun tidak sesuai dengan selera
kami yang terlalu ketinggian padahal uangnya pas-pasan. Kami berjalan hingga
Jalan Pettarani, dan disana ada sebuah sebuah warung makan yang cukup elit.
Kami mencoba menghampirinya dan melihat menu serta harga-harganya. Satu per
satu kami baca menunya serta daftar harganya, sebelum sang pelayan tiba di meja
kami, kami sudah lebih dulu beranjak pergi dari warung tersebut. Mungkin
pembaca sudah tau alasannya. MAHAL SEKALI AKHI..
Kami terus berjalan
menempuh jalan kurang lebih 2 KM. Ternyata justru kami kembali memutar ke
arah dekat dengan lokasi Targab.
Akhirnya kami memutuskan untuk makan di warung salah satu ikhwan (ADUHH..
KENAPA TIDAK DARI TADI, SUDAH CAPEK-CAPEK JALAN KAKI JAUH-JAUH. KEPANASAN PULA).
Warung ini terbilang ramai dikunjungi oleh ikhwan-ikhwan dan akhwat biasanya
setelah ta’lim, dan hari-hari lain. Warung yang saya maksud adalah warung Bakso
Mas Cingkrang. Disana kami makan bakso.
Seusai makan kami pun
beranjak untuk kembali pulang, seperti di awal kami pulangnya pakai Grab. Kami
pulang hanya bertiga karena senior yang kami temani makan punya agenda
musyawarah di Masjid Wihdatul Ummah (katanya). Selang beberapa menit usai makan
tak lama kemudian setelah memesan Grab ternyata drivernya sudah lebih dulu ada
di depan warung menunggu kami. Kebetulan rumah sang driver ternyata dekat dari
situ, padahal awalnya sang driver hendak balik ke rumah untuk beristirahat
tiba-tiba ada orderan,, Alhamdulillah (ujarnya).
Disinilah inti dari
cerita ini, sang supir mulai bercerita dengan kami mengenai pengalaman
spiritualnya. Baik, karena diawal terlalu panjang mukaddimahnya (hehehe :-D )
langsung saja kita rangkum cerita yang disampaikan oleh sang driver Grab.
Dia ternyata punya masa
lalu yang kelam. Ternya dia seorang muallaf, sebelumnya ia beragama Nasrani.
“Alhamdulillah sekarang saya menyembah Allah, yang sebelumnya saya menyembah
Isa”, ujarnya. Dahulu sebelum dia menjadi muallaf, ia menderita sebuah penyakit
(Entah, saya tidak tahu penyakit apa “Wallahu
a’lam” ) Hingga pada suatu saat ia berobat kepada seorang ustad, waktu itu
ia meminta untuk diruqyah. Alhasil ternyata tubuhnya dihuni oleh jin, sampai
sang ustad menyarankan kepada beliau untuk mengambil daun bidara agar dijadikan
sebagai obat. Daun bidara ini dipercaya bisa menangkal gangguan jin. “Daun
bidara ini sangat mujarab, kalau saya pegang daun itu saya seperti ditusuk
duri, padahal di daunnya tidak ada duri dan durinya itu ada di tangkainya. Itu
karena ditubuh saya ada jin”,katanya. Kemudian ia kembali berkata “Itu daun
bidara kalau sudah layu lalu direndam di dalam air, bisa kembali segar seperti
baru dipetik”. Masyaa Allah, sejak saat itu ketika Allah SWT memberikan ia
kesembuhan melalui perantara sebuah daun bidara dan ustad yang membimbingnya
Alhamdulillah sekarang ia berhijrah dari agama yang lama ke agama yang baru
(read;islam).
Sungguh besar kuasa
Allah SWT, sang driver Grab ini mendapat sebuah hidayah melalui daun bidara.
Bahkan sekarang dia sudah membuat sebuah produk semacam minyak oles yang mengombinasikan
daun bidara dengan minyak zaitun, madu, dan bahan-bahan lainnya. Alhamdulillah
produknya sekarang telah legal dan mendapat sertifikasi dari DEPKES, BPOM, dan
tentunya sertifikasi HALAL dari MUI. Ini merupakan sebuah pengalaman spiritual
yang terbilang luar biasa bagi saya. Kalau Allah sudah berkehendak, tidak ada
yang tidak mungkin, semua bisa terjadi.
Kami pun diantarnya
sampai ke rumah, sampai dia berpikir bahwa sepertinya alamat yang kami tuju
pernah ia lalui. Ternyata daun bidara yang pernah ia pakai untuk berobat
diambil dari pohon yang letaknya hanya beberapa meter dari rumah yang kami
tempati. Jaraknya hanya dipisahkan oleh Masjid (Ar-Rahmah). Ia pun mengantar
kami sampai dibawah pohon bidara tersebut, karena ia sangat penasaran bagaimana
caranya menanam pohon bidara.